Soekirdjo dilahirkan pada tahun 1898 di Ciparay (wilayah Kabupaten Cilacap), dari ayah Mas Atmosoedjono yang berasal dari desa lebih kurang 10 km arah Selatan kota Kutoarjo (dahulu masih disebut dengan nama “Semawung”) dan ibu Watinah binti Jogodiwirio (atau Joyodiwirio). Jogodiwirio berkedudukan sebagai “Beban” di Sawangan (daerah Gombong). Mas Atmosoedjono adalah putra dari Mas Kartosentono (alias Sumokerto) yang makamnya di desa Kiangkong. Kakaknya adalah Mas Bongsotaruno yang berkedudukan sebagai “Lindung” wilayah Ketawang Rejo, lebih ke Selatan lagi dari Kiangkong.
Soekirdjo merupakan anak tunggal dari keluarga Atmosoedjono-Watinah, dan telah dapat bersekolah di “Europesche Lagere School” (Sekolah Dasar Belanda) di Cilacap; bahkan kemudian dapat melanjutkan ke “Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren” (MOSvIA)yaitu sekolah untuk pegawai pangreh praja pemerintahan Hindia Belanda. Penguasa Hindia Belanda biasanya merekrut murid pribumi masuk ke E.L.S. dan MOSvIA hanya dari keluarga bangsawan dan bupati.
Soekirdjo lulus dari MOSvIA kira-kira tahun 1919-1920 dan menjalankan karirnya dalam pemerintahan Hindia Belanda hingga pangkat “wedana”. Selanjutnya sebagai “patih kabupaten” dalam pemerintahan Jepang (1942 – 1945) dan Republik Indonesia (1945 – 1949). Beliau mengalami kedudukan “non-koperator” di masa pendudukan Belanda di Magelang (1949 – 1951). Setelah kembalinya kedaulatan RI beliau diangkat menjadi Bupati Demak dan kemudian Bupati Kudus, sebelum mendapat pensiun pada tahun 1957. Beliau wafat pada tahun 1958 dan dimakamkan di pemakaman Masjid Blunyah Gede Yogyakarta. Isteri beliau yang wafat pada tahun 1981 dimakamkan di pemakaman itu juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar